Rini, Obat Penyembuh Kegilaanku
Hari semakin siang, Panas dan debu mulai membuat saya tidak nyaman. Cuaca brengsek ini mulai membuat saya gelisah. Sementara nama saya belum juga dipanggil Ki Gentong.
Ini yang selalu membuat saya kesal setiap berobat ke paranormal. Namun hanya paranormallah yang selalu menanggapi ketidak warasan saya. Apa boleh buat..
Untuk melepaskan rasa kesal, saya ambil duit lembaran 500 bergambar monyet. Lalu saya tulis nama Ki Gentong tepat pada gambar monyet. Dngan geram kemudian saya injak uang itu sejadi-jadinya. Setelah itu kembali saya duduk diatas kursi plastik yang berjejer.
Tak sengaja saya melirik kesamping kiri. Rupanya ada seorang wanita cantik, Juga seksi. Dia acuh, pura-pura tidak melihat saya. Ketidak warasan saya tiba tiba kumat. Imajinasi bangsat saya mulai bereaksi kembali. Berrkali kali bibir saya menempel di betis mulus itu, Tapi dia tidak menyadarinya.
Kadang saya pura pura menjatuhkan bungkus rokok dekat kakinya. Lalu saat mengambilnya, saya mencuri kesempatan untuk menjilat betisnya. Anehnya saya tetap selamat dari pantauannya.
Karena masih selamat, akhirnya saya mencoba meraba tangannya. Saya yakin dia akan marah. Tapi tahu tahu, dia hanya tersenyum.
“Mau kenalan mas? Kok raba-raba tangan?”
“Iya mbak. Boleh?”
“Oh kenapa tidak. Nama saya Rini.”
“Oh … saya Taopik”
Meski tangannya akhirnya juga meraba tangan saya, Tapi yang berdebar justru malah hati saya. Akibatnya saya jadi lupa kalau saya sedang mengalami gangguan jiwa.
“Nunggu siapa Kang Topik.?”
“Oh … nunggu teman.”
“Kok nunggunya disini?”
“Katanya tunggu disini”
“Temannya itu siapa?”
“Saya juga tidak tahu”
“Lho kok tidak tahu sama temannya sendiri?”
“Taopik Hidayat.! Silahkan masuk”
Nama saya dipanggil asisten Ki Gentong.
“Itu bukan nama saya Pak eh … itu bukan saya Pak.”
“Lho bukannya tadi anda yang menyodorkan kartu antrian ini?”
“Bukan Pak. Maksudnya itu … “
Saya kemudian merebahkan tubuh saya di pangkuan Rini tanpa menjawab apa-apa lagi pada asisten keparat tadi. Entah kenapa Rini tidak terlihat marah. Bahkan tangannya malah membelai muka saya yang sedang gugup. Lalu jantung saya meledak menikmatinya.
Tapi Rini tidak tahu. Dan imajinasi saya pun langsung menyelinap ke balik pakaiannya. Saya meraba semua yang ada dibaliknya
Semua itu terjadi diluar pikiran sadar saya. Tanpa saya rencanakan apalagi saya pikirkan. Sama dengan saat saya menulis cerpen terkutuk ini.
Ini yang selalu membuat saya kesal setiap berobat ke paranormal. Namun hanya paranormallah yang selalu menanggapi ketidak warasan saya. Apa boleh buat..
Untuk melepaskan rasa kesal, saya ambil duit lembaran 500 bergambar monyet. Lalu saya tulis nama Ki Gentong tepat pada gambar monyet. Dngan geram kemudian saya injak uang itu sejadi-jadinya. Setelah itu kembali saya duduk diatas kursi plastik yang berjejer.
Tak sengaja saya melirik kesamping kiri. Rupanya ada seorang wanita cantik, Juga seksi. Dia acuh, pura-pura tidak melihat saya. Ketidak warasan saya tiba tiba kumat. Imajinasi bangsat saya mulai bereaksi kembali. Berrkali kali bibir saya menempel di betis mulus itu, Tapi dia tidak menyadarinya.
Kadang saya pura pura menjatuhkan bungkus rokok dekat kakinya. Lalu saat mengambilnya, saya mencuri kesempatan untuk menjilat betisnya. Anehnya saya tetap selamat dari pantauannya.
Karena masih selamat, akhirnya saya mencoba meraba tangannya. Saya yakin dia akan marah. Tapi tahu tahu, dia hanya tersenyum.
“Mau kenalan mas? Kok raba-raba tangan?”
“Iya mbak. Boleh?”
“Oh kenapa tidak. Nama saya Rini.”
“Oh … saya Taopik”
Meski tangannya akhirnya juga meraba tangan saya, Tapi yang berdebar justru malah hati saya. Akibatnya saya jadi lupa kalau saya sedang mengalami gangguan jiwa.
“Nunggu siapa Kang Topik.?”
“Oh … nunggu teman.”
“Kok nunggunya disini?”
“Katanya tunggu disini”
“Temannya itu siapa?”
“Saya juga tidak tahu”
“Lho kok tidak tahu sama temannya sendiri?”
“Taopik Hidayat.! Silahkan masuk”
Nama saya dipanggil asisten Ki Gentong.
“Itu bukan nama saya Pak eh … itu bukan saya Pak.”
“Lho bukannya tadi anda yang menyodorkan kartu antrian ini?”
“Bukan Pak. Maksudnya itu … “
Saya kemudian merebahkan tubuh saya di pangkuan Rini tanpa menjawab apa-apa lagi pada asisten keparat tadi. Entah kenapa Rini tidak terlihat marah. Bahkan tangannya malah membelai muka saya yang sedang gugup. Lalu jantung saya meledak menikmatinya.
Tapi Rini tidak tahu. Dan imajinasi saya pun langsung menyelinap ke balik pakaiannya. Saya meraba semua yang ada dibaliknya
Semua itu terjadi diluar pikiran sadar saya. Tanpa saya rencanakan apalagi saya pikirkan. Sama dengan saat saya menulis cerpen terkutuk ini.