Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Kartini Selayang Pandang

Kenapa harus Kartini yang jadi pendekar wanita Indonesia.?
Kenapa bukan Dewi Sartika.?
Kenapa bukan Rohana.?
Kenapa bukan Cut Nyak Dien.?

Kita mungkin tidak tahu, apa, siapa, dan bagaimana sebenarnya sejarah " penggerak emansipasi wanita ini ", selain dari pelajaran sejarah waktu di SD dulu. Namun apakah memang begitu sejarah yang terjadi sebenarnya pada Kartini sebagai " Pendekar Wanita Indonesia ".?
Karena akuratnya sebuah fenomena atau kejadian, adalah pemaparan yang harus sesuai persis dengan kenyataan.

Lalu sejarah Kartini, Bagaimana cara memastikan kebenaranya.?
Sementara para peniliti sejarah, sudah tidak berada dizaman objek penelitiannya.?
Maka dikumpulkanlah bukti bukti sejarah tentang Kartini.

Lalu persoalan lainya muncul secara berantai, apa ukurannya bahwa itu memang merupakan bukti peninggalan dari sebuah sejarah Kartini.?
Siapa yang bisa menjawabnya.?
Sedang orang yang akan memutuskannya, adalah orang yang hidup di zaman saat sebuah sejarah akan ditulis, bukan pelaku sejarah yang menyaksikannya.

Lalu disisi lain,
Kita samua sudah sama mendengar bahkan selalu direcoki dengan cerita sejarah ini dan sejarah itu.
Apakah sudah pernah kita berpikir epistemologi kritis seperti ini?
Tuduhan saya, tidak.!
Yang kita lakukan, hanya langsung terima. Langsung percaya. Padahal dibalik sebuah dokuman dan kotbah sejarah, itu penuh dengan problem epistemologis seperti yang saya ringkaskan diatas.

Jadi Kesimpulan saya tentang Sejarah Kartini adalah,
Sebuah pernyataan Ilmu sejarah sesuai dengan prosedur ilmiah, Karena itu diklaim sebagai sudah sah, sudah SOP. Namun secara epistemologi kritis, setelah dikuliti, otentifikasinya kebenaranya belum tentu seperti itu.

Karena menurut sejarah lainya mengatakan,
Kartini tidak dibesarkan oleh masyarakat Indonesia. Tapi orang Belandalah yang menampilkan Kartini sebagai Pendekar Wanita kaum pribumi. Karena kehidupan Kartini, memang berada diwilayah kelas atas pada zamanya. Dari sinilah Kartini tahu ide ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Intinya, orang Belandalah yang menciptakan Kartini sebagai lambang budaya emansipasi wanita Indonesia. Bukan kita sebagai rakyat Indonesia. Kita hanya meneruskan dan mengembangkanya.

Dan penciptaan budaya ini terjadi setelah 6 tahun Kartini wafat.
Yaitu pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hildade Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana untuk pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah.
Tanggal 27 Juni 1913, didirikanlah Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.

Bahkan dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis,
“Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini jika orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”